Tentang Berdoa
Gambar dari google.com
Dulu ketika saya berdoa, saya selalu
berfokus pada permohonan saya, yaitu apa yang saya inginkan, apa yang saya
harapkan terjadi. Hal ini tidak salah, mengingat doa adalah sarana kita
berkomunikasi dengan Tuhan dan menyampaikan harapan-harapan kita. Namun doa
menjadi sesuatu yang kurang tepat apabila kita berpikir bahwa apa yang kita
minta atau sebutkan dalam doa adalah yang terbaik bagi kita. Sejatinya pikiran
manusia tidak selalu dapat menggapai maksud dan keagungan Tuhan.
Saya ingat dulu ketika apa yang saya minta
dalam doa tidak terkabul saya menjadi sedih, kecewa, dan merasa semuanya
sia-sia. Buat apa saya berdoa, toh hasilnya nihil juga. Begitu pikir saya. Saya
lupa bahwa segala keinginan-keinginan itu berasal dari pikiran kita, dan
pikiran itu bukanlah diri kita yang sejati. Jadi buat apa melekat pada hal-hal
yang tidak abadi? Bukan berarti kita menjadi tidak boleh memiliki keinginan,
mempunyai cita-cita dan mimpi itu sah-sah saja selama kita tidak menganggap itu
semua sebagai sumber kebahagiaan. Jika kita bisa melepaskan itu semua secara
otomatis kita akan siap dengan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi dalam hidup
kita, pendek kata kita menjadi percaya penuh terhadap Tuhan.
Hal ini benar-benar saya rasakan
perbedaannya, ketika saya berbicara, “Tuhan, aku mohon, aku ingin ‘ini’, ‘ini’,
‘ini’, ‘itu’, ‘itu’, dan lain-lain” tanpa berpikir bisa saja ini bukan yang
terbaik buatku atau mungkin belum saatnya. Dan ketika saya berbicara, “Tuhan
aku telah berusaha ‘ini’ untuk mendapatkan ‘ini’. Aku berharap aku bisa
mendapatkan ‘ini’, namun jika Engkau belum menghendaki kuatkan aku untuk lapang dada, apapun hasilnya, karena aku
percaya Engkau takkan membiarkanku sendirian dan telah menyiapkan rencana yang
indah untukku.” Ada suatu kelegaan yang tak bisa saya ungkapkan dengan
kata-kata ketika saya menyerahkan semua keputusannya pada Tuhan. Saya yakin
Tuhan tahu apa yang saya perlukan, jadi saya merasa tenang ketika saya tidak
tahu akan menjadi seperti apa, ketika saya tidak berekspektasi berlebihan.
Dalam kitab suci pun Tuhan juga memberikan
perumpamaan tentang berdoa. Ini bisa dibaca dalam injil Lukas 18:9-14, ketika
itu Yesus mengumpamakan dua orang yang berbeda latar belakangnya, pekerjaannya,
namun sama-sama berdoa. Seorang itu adalah pemungut cukai, dan satu lagi adalah
orang Farisi. Jika kita lihat secara kasat mata, tentu orang Farisi lebih baik
dibandingkan pemungut cukai dimana orang Farisi adalah orang yang taat dengan
aturan agama sedangkan pemungut cukai? Tahu sendirilah pekerjaannya seperti
apa. Namun ketika orang Farisi itu berdoa, ia malah memamerkan kesombongannya
di hadapan Tuhan, ia bersyukur karena merasa dirinya lebih baik dari orang lain
yang dianggapnya lebih rendah. Berbeda dengan isi doa orang Farisi, si pemungut
cukai malah mengakui segala kelemahan dan dosa-dosanya. Ia menyerahkan dirinya
secara total kepada Tuhan.
Selama ini pun, saya, kita semua sering
bersikap seperti orang Farisi tersebut. Dalam hati kita merasa kita lebih baik
dan beruntung daripada orang lain, bisa saja karena perbedaan kondisi ekonomi,
perbedaan agama, perbedaan kelompok. Keinginan kita yang terlalu ngotot juga
termasuk dalam kesombongan, karena kita lupa bahwa tidak ada yang
sungguh-sungguh milik kita, bahkan tubuh dan hidup kita sendiri. Lagipula
burung-burung di udara tidak pernah cemas dengan apa yang akan dimakannya besok
karena Tuhan telah menyiapkan (bks Matius 6:25-34), jadi buat apa kita terlalu takut jika apa
yang kita harapkan tidak terjadi? Kita lupa berkaca akan keborokan pikiran
kita, sehingga kita lebih memandang sesuatu dari kacamata duniawi. Dari situ
saya juga memetik pelajaran bahwa kita tidak bisa men-judge orang lain karena
kesalahannya, karena kekurangannya, kerana perbedaan yang ada. Saya sadar bahwa
sikap tahu diri dan rendah hati itulah yang Tuhan senangi. Semoga saya tidak
pernah lupa dengan apa yang telah saya ketahui, karena dengan begitu saya
merasa tenang...
Komentar
Posting Komentar