Today, I Went to Heaven
Minggu, 30 Agustus 2015
Setelah
menikmati libur semester yang cukup panjang, akhirnya aku harus kembali lagi ke
tempat perantauanku. Kota Singkawang, tempatku menyelesaikan kuliahku yang
tersisa satu tahun lagi. Hari ini
aku bangun dengan usaha yang cukup keras melawan rasa kantuk dan capek yang
masih terasa, karena semalam aku tidur cukup larut, sekitar jam setengah dua
belas malam.
Dengan
langkah gontai aku menuju kamar mandi dan segera menyiram seluruh tubuhku dengan
air. Kesegaran seketika memenuhi jiwa dan ragaku setelah aku selesai mandi. Aku
berdandan simple dan memakai baju biru yang sebelumnya sudah aku setrika. Tidak
lama, karena aku mau pergi misa di Kapel Sang Pemanih STT. Aku pergi dengan
mamaku, kebetulan mamaku sedang ada kegiatan retret di situ, jadi sekalian kami
pergi sama-sama.
Aku juga
sudah janjian dengan Erik untuk misa sama-sama. Begitu sampai di sana,
pandanganku langsung tertuju pada lelaki muda memakai kaus berkerah berwarna
hitam. Ternyata Erik sampai lebih dulu daripada aku. Kami pun
bersama-sama melangkah masuk Kapel. Suasana saat itu belum terlalu ramai, jadi
kami masih dapat tempat duduk di bagian dalam. Misa pagi itu sungguh tenang,
dipimpin oleh Pastor yang aku lupa namanya, yang Bahasa Indonesianya masih
sedikit kurang lancar, karena beliau berasal dari Fillipina.
Setelah
misa, aku dan Erik pulang untuk bersiap-siap berangkat ke Singkawang. Kami
menyantap sarapan sebelum pergi, agar perut kami tidak kelaparan di tengah
jalan. Erik bilang, hari ini dia akan membawaku ke suatu tempat yang pasti aku
sukai. Tempat itu menyediakan makanan yang enak-enak. “Inta pasti suka”, tambah
Erik. Aku hanya
tersenyum dan pasrah saja kemana ia akan membawaku. Perjalanan kami lancar.
Kami turun dari rumah pukul sebelas pagi menggunakan motorku. Pukul dua belas
kami sudah sampai di Mempawah. Sebelum
jembatan pertama menuju Mempawah, ada jalan di sebelah kiri. Erik membelokkan
setir motor ke jalan itu. “Ayo, kita wisata kuliner”, kata Erik penuh semangat.
Tak jauh
setelah masuk ke dalam jalan itu, ternyata ada tempat makan. Kelihatannya
seperti warung biasa. Tidak terlalu besar, tapi dikunjungi banyak orang.
Letaknya di samping muara. Di muara itu ada beberapa perahu besar, sepertinya
itu kendaraan air yang dipakai para nelayan untuk mencari satwa air untuk
dijual dan yang akan kami makan.
Seorang
perempuan dengan ramahnya langsung bertanya kepada kami ingin pesan apa. Erik
yang sudah pernah ke sini tanpa ragu memesan ikan asam pedas. Sedangkan aku
dengan wajah bingung tak tahu mau pesan apa. Aku merasa kalau aku tidak begitu
lapar, karena sebelum pergi aku sudah makan indomie pakai nasi. “Inta mau
udang?” Tanya Erik penuh perhatian. Sepertinya ia tahu kalau aku bingung mau
pesan apa. Perempuan yang ramah itu menyambung, “kalau mau rebus ada, kalau mau
digoreng bisa kami gorengkan.”
Aku sudah
malas berpikir lama-lama lagi. Entah kenapa aku pingin udang goreng. Jadi aku
pesan udang goreng. Kami sama-sama memesan teh es sebagai minumannya. Erik
tampak sumringah membawaku ke tempat itu. Sebelumnya aku bilang kalau aku tak
terlalu tertarik dengan tempat ini. Erik bilang tidak apa-apa, yang penting
dicoba saja dulu, kita kan wisata kuliner. Sebenarnya
tempat itu nyaman, dengan angin sepoi-sepoi dan view yang indah. Seperti yang
aku bilang tadi, tempatnya tepat di dekat muara, kita bisa melihat hamparan air
dengan beberapa perahu besar di tepiannya.
Tak lama
menunggu makanan kami sudah datang. Ada ikan asam pedas dan udang goreng
tentunya, juga beberapa menu tambahan yang terserah kami mau dimakan atau
tidak. Udang galah yang tampak segar tersaji indah di mangkuk. Kecipir yang
sedap menjadi lalapan, dan bakwan goreng. Semangkuk acar juga tak kalah
menggugah selera. Ditambah dua bungkus kerupuk yang aku ambil sebagai teman
makan siang. Kami menyeruput teh es kami sebelum makan.
Kuambil
sepotong kecil ikan asam pedas punya Erik. Di situ kami makan pakai tangan,
karena tempat itu memang tidak menyediakan sendok apalagi garpu, mungkin supaya
makannya lebih nikmat. Aku pun memasukkan suapan pertamaku, dan saat makanan
itu melebur dalam mulutku, aku merasa seperti tikus kecil dalam film Ratatui
saat ia menggigit potongan keju. Ledakan kembang api beratraksi dengan indahnya
dalam imajinasiku. Spontan aku bilang pada Erik, “Hari ini kau udah bawa aku ke
Surga!”
Suapan
demi suapan menyadarkanku bahwa perasaanku sebelumnya salah. Sebenarnya aku
sangat lapar. Dan aku sedang makan di Surga. Udang-udang goreng itu benar-benar
segar dan terasa manis di lidah. Ditambah dengan sambal yang super nikmat
membuatku tak bisa berhenti memuji makanan itu. Sangat enak! Lebih dari sekali
aku bilang pada Erik kalau aku sedang berada di Surga. Ya Tuhan, kebahagiaan
macam apa yang Kau berikan padaku hari ini. Baru kali ini aku ingin meleleh
karena menyantap makanan yang sudah keterlaluan enaknya. Aku tak bisa berhenti
memuji. Ya, karena aku sangat bahagia dan aku tak menyesal Erik telah membawaku
ke tempat itu.
Erik
bilang bupati Mempawah sering makan di situ. Aku tak heran karena rasanya benar-benar
membuatmu takjub, sehingga kau tak bisa lagi berpikir seperti apakah bahagianya
di Surga, karena makan di sini saja sudah membuatmu sangat bahagia? Aku tak
perlu pergi ke Itali seperti Julia Robert untuk bisa bahagia menikmati makanan
enak, karena hari ini aku sudah makan makanan tak kalah lezat seperti dalam
film Eat, Pray, Love. Aku benar-benar puas dan merasa hatiku terisi penuh. Kami
melanjutkan perjalanan dengan hati gembira.
Tak puas
hanya singgah di satu tempat, Erik mengajakku berwisata kuliner lagi. Kali ini
dengan menu yang sedikit berbeda. Erik bilang ada sop iga sapi yang luar biasa
enaknya. Maaf aku tak bisa secara tepat menjelaskan dimana lokasinya, yang
jelas tempat makan yang kedua ini agak sedikit masuk ke dalam Mempawah. Kita
harus tahu betul jalan Mempawah jika ingin sampai ke sana. Tempatnya tampak
sederhana, layaknya rumah makan biasa dengan cukup banyak persediaan meja makan
bagi para pelanggannya. Kami memilih meja di luar. Erik menawarkanku jika ingin
makan di bagian dalam, tapi aku lebih memilih di luar. Ada banyak pilihan menu
yang bisa kita pesan, tapi karena Erik ingin memberitahuku kalau sop iga sapi
di situ enak, jadi kami pun memesan sop iga sapi plus nasi, tapi setengah
porsi. Maklum, kami juga barusan makan, jadi kami takut kekenyangan.
Erik
lebih memilih es jeruk, sedangkan aku es sari kacang. Minuman kami sampai lebih
dulu. Dan agak lama menunggu sop iga sapinya datang.
Jeng jeng
jeng!!! Akhirnya sop iga sapinya datang! Aku tidak menyangka, kalau porsi iga
sapinya sangat banyak. Dalam hatiku, aku ragu apakah aku bisa menghabiskan
makan siang ronde kedua ini. Perasan
jeruk sambal, kecap manis, lada, dan sedikit sambal menyempurnakan cita sara
sop itu. Aku pun makan dengan lahapnya meski perut sudah terisi sebelumnya.
Suapan
demi suapan kami nikmati, hingga pada suatu ketika kami merasa perut kami sudah
sangat penuh. Kami tertawa karena kekenyangan. Tapi kami tetap melanjutkan
kunyahan demi kunyahan, karena kami percaya bahwa makanan yang bisa kami makan
adalah anugerah dan harus kami syukuri, jadi tidak boleh dibuang. Sangat
disayangkan jika kami menyia-nyiakannya di saat banyak orang di luar sana yang
kelaparan, sedangkan kami malah kekenyangan.
Erik membantuku menghabiskan sop
iga sapi millikku yang tak mampu kuhabiskan. Kami menikmati waktu bersama dan
bercerita tanpa bosan. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan kami. Aku sangat
bahagia dan memeluk Erik erat-erat sambil mengucap dalam hati, ah, today I went
to Heaven…
Komentar
Posting Komentar