Sinterklas Yang Menyusup (9 Juni 2014)
Gambar dari google.com
“Kriiiiiiiiiiing….”
Bel sekolah seakan-akan seperti pecut
penyemangat kami yang sudah lelah menuntut ilmu dari pagi. Tepat pukul 12.20
aku menoleh jam yang ditempel di dinding belakang kelasku. Namun hariku belum
berakhir. Setelah ini aku akan mengikuti les lagi sampai pukul setengah tiga
sore, dan ekskul basket juga sudah
menantiku di pukul empat nanti. Berhubung jarak sekolah dan rumahku cukup jauh,
jadi aku tidak pulang ke rumah. Sekotak bekal makan siang yang disiapkan ibuku
tadi pagi, baju ganti untuk olahraga nanti beserta sepatunya cukup untuk
menyertai hariku yang panjang dan melelahkan ini.
Setiap
ucapan yang keluar dari mulut Pak Ergo selama les fisika aku simak dengan
sungguh-sungguh, hingga tanpa terasa waktu berjalan begitu cepat. Itu artinya
sudah waktunya kami pulang, karena setelah kami keluar kelas itu akan diisi
kembali oleh teman-temanku yang lain untuk les jam kedua. Aku pun bergegas
mengganti pakaianku dengan seragam olahraga dengan aroma pelembut pakaian yang
biasa ibu pakai masih bisa aku cium. Ibuku memang hebat. Setiap hari memasak
buatku dan mencucikan pakaianku.
Dengan
semangat aku melangkah menuju lapangan basket, tempat biasa kami berlatih dan
melakukan pemanasan terlebih dahulu sebelum berlatih. Walau sebenarnya tubuhku
sudah lelah, tapi tidak dengan semangatku. Dari kejauhan, aku hanya mendapati
dua orang temanku saja yang sedang duduk di tepi lapangan.
“Hai.”
Sapaku pada Mercy dan Kanaya.
Wajah
mereka tampak memelas tanpa sempat membalas sapaanku pada mereka.
“Loh, kenapa? Kok masih sepi, yah? Padahal biasanya jam segini udah rame lho yang datang. “ Aku melanjutkan
perkataanku sambil memerhatikan jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul tiga
sore kurang sepuluh menit.
“Hari
ini kita gak ada latihan. Tadi Pak
Sunardi datang bentar, dan bilang
sama kami yang udah datang kalo hari
ini gak ada latihan karena dia ada
urusan.” Jelas Kanaya dengan bibir manyunnya.
“Yang
lain begitu dengar berita itu langsung pulang, tapi kami masih di sini karena nunggu jemputan.” Tambah Mercy.
“Oh,
gitu. Ya udah, gak apa-apa. Itung-itung
istirahat. Kalo gitu aku duluan ya.” Jawabku. Kami memutuskan obrolan dengan
lambaian tangan, tanda isyarat ‘sampai jumpa besok’.
Aku
melangkah masih dengan seragam olahragaku. Aku berdiri tepat di depan sekolah
menunggu bus. Satu menit, dua menit, terasa begitu lama bagiku yang sendirian.
Sebuah bus dengan kecepatan sedang akhirnya berhenti tepat di depanku,
seolah-olah tahu bahwa aku memang menunggunya. Aku naik cepat-cepat karena
tidak sabar untuk pulang. Aku lelah sekali.
Begitu
sesampainya di rumah, ibu menyambutku dengan senyum hangatnya dan mengambil tas
ranselku yang berat. Lalu ia membuatkan segelas susu cokelat untukku. Tak
tersirat sedikitpun lelah di wajahnya, walau aku tahu begitu banyak pekerjaan
berat yang sudah ia kerjakan. Aku sudah bilang, ibuku hebat.
“Kok,
udah pulang? Bukannya kamu ekskul basket hari ini?” Tanyanya heran melihatku
pulang lebih awal dari seharusnya.
“Iya,
Pak Sunardi hari ini gak bisa ngelatih. Ada urusan katanya.” Jawabku.
Ibu
menyuruhku untuk lekas mandi, “biar segar” katanya. Tapi aku sudah tidak
sanggup, aku lelah. Kamarku sudah memenuhi daya khayalku sejak aku berada dalam
bus tadi. Aku masuk ke kamar dan tidur. Perasaanku sedikit kacau karena terlalu
lelah. Ingin sekali aku menamatku sekolahku cepat-cepat karena tak sanggup
harus meleawati rutinitas yang terlalu berat untukku yang masih 13 tahun.
Rasa kantuk berbaur
dengan kepenatanku yang sudah hampir di ambang batas menghantarkanku dengan cepat
ke alam bawah sadar. Tiba-tiba aku terbangun dengan perasaan yang jauh lebih
baik dari tadi. Kulihat langit mulai berwarna jingga keemasan, hari sudah sore
dan mendekati akhirnya. Aku melihat ada sepiring buah belimbing yang sudah
dipotong kecil-kecil. Tak lain dan tak bukan, ibukulah orang yang sudah menaruh
buah itu. Aksinya itu mirip seperti Sinterklas yang menyusup di malam Natal,
lalu begitu pagi tiba anak-anak sudah mendapati kotak-kotak yang di dalamnya
berisi hadiah di bawah pohon Natal.
Aku
tersentuh melihat kebaikan hatinya, dan tentunya, kekuatannya, seolah-olah tak
bisa merasakan lelah. Aku dierlakukan bak seorang putri. Segala keperluanku
disiapkan olehnya, dia juga memasak buatku, dan selalu memberi aku kasih
sayang. Sedangkan aku yang hanya tinggal menggunakan apa yang sudah ia siapkan
begitu cepat untuk lelah. Mulai sekarang aku mau jadi seperti ibuku, kuat dan
selalu mengerjakan semuanya dengan penuh semangat dan cinta. Aku mau jadi anak
yang baik dan patuh kepada orang tua. Karena Sinterklas hanya akan memberikan
kado kepada anak baik.
Komentar
Posting Komentar