Aku Berhenti Mendoakan Orang-orang yang Pernah Menyakitiku

Lokasi: Gereja MRPD Pontianak

     Judul ini seperti clickbait karena mungkin akan terkesan berbeda bagi setiap orang yang membacanya, tergantung persepsi mereka. Makanya, aku sangat menyarankan untuk membaca tulisan ini sampai habis. Aku tidak akan membahas betapa orang yang pernah berbuat salah terhadap kita harus dibenci, atau mungkin tidak layak diberikan kebaikan termasuk doa kita. Hanya saja, ada satu pemahaman yang membuatku akhirnya menuangkan pemikiranku ditulisan ini.
     Aku tidak ingin terkesan sok tua, tapi kuakui bahwa aku bukan belia lagi meskipun umurku tergolong masih muda. Dua puluh empat tahun delapan bulan kurasa sudah cukup banyak bagiku menjumpai orang-orang dengan berbagai karakter. Dan sepanjang perjalanan hidupku inilah aku memetik banyak pelajaran berharga, terutama dalam hal bersosial. Memang kehidupan sosial itu susah-susah gampang.
     Sistem pendidikan didunia mengajarkan kita untuk "meraih" sesuatu atau "menguasai" sesuatu, contohnya sedari kecil kita dituntut untuk belaja, dapat nilai bagus, berprestasi, bergaul, punya pencapaian, dan lain-lain. Sadar atau tidak kita selalu dituntut untuk bisa memahami atau menaklukkan segalanya, padahal realitanya tidak semua hal bisa dipahami, dan tidak semua hal perlu dikuasai. Ternyata nilai-nilai itu juga memengaruhi kehidupan spiritual kita. Aku merasakan hal itu ketika aku menyadari bahwa apa yang aku minta tidak selalu yang terbaik untukku.
     Coba ingat-ingat lagi, berapa kali kita meminta kepada Tuhan untuk sesuatu yang belum kita miliki? Dengan sangat berharap dan terkadang memaksa, "Tuhan aku ingin ini...itu... bla bla bla. Tolong kabulkanlah" seolah kita sudah tahu itulah yang paling tepat untuk kita. Begitu juga termasuk ketika aku mengalami ujian hidup, ketika ada orang yang berbuat jahat terhadapku. Aku memohon pada-Nya supaya Ia mengetuk hatinya untuk sadar, diiringi pula dengan sikap baikku kepadanya. Apa yang kudapat? Sebagian besar orang-orang itu tetap seperti yang dulu aku kenal. Bersikap kasar, acuh tak acuh, dan tak menghargaiku. Dalam hal ini bukan berarti aku sok suci, hanya saja jika aku yang mengalami aku akan intropeksi diri dan berubah. Itulah yang sebelumnya (dengan naifnya) aku pikirkan bahwa kalau aku berubah, orang lain juga pasti bisa berubah (maksudnya bukan aku ingin merubah orang dengan perubahanku, tapi lebih kepada aku berpikir bahwa setiap orang pasti mengalami perubahan ke arah yang lebih baik). Tapi, nyatanya tidak.
     Dan makin kesini, ujian demi ujian, sandungan demi sandungan yang kuhadapi seolah memberiku isyarat bahwa alangkah baiknya kalau aku mempersempit perhatianku. Aku merasa bahwa dengan mendoakan orang lain yang pernah jahat terhadap kita untuk berubah juga salah satu bentuk keinginan kita untuk "mengatur", "menguasai", "menaklukkan". Kita berharap bahwa dunia dan segala isinya ini bisa hidup damai dan saling mengasihi, padahal nyatanya tidak. Hidup tidak selalu seharmonis itu. Ada kalanya kita perlu menerima bahwa memang ada orang-orang yang lebih senang menjelekkan orang lain daripada memuji, ada orang yang lebih suka menyimpan dendam daripada memaafkan, ada orang yang lebih suka menghakimi orang lain daripada memahami, ada orang yang sebaik apapun kamu tapi dimatanya kamu tetaplah orang yang jahat. Memang ada. Dan dari sisi kita juga perlu kata "cukup" dan "melepaskan" apa yang tidak perlu. Pada akhirnya kita sendirilah yang menanggung hidup kita masing-masing, jadi buat apa terlalu gusar dengan orang lain.
     Aku percaya bahwa Tuhan yang paling tahu yang terbaik. Aku tidak punya kendali atas beberapa hal, tapi aku punya kendali atas bagaimana aku merespon dan merasa terhadap apapun yang menimpaku. Tuhan yang maha perubah hati seseorang dan aku tidak mau memaksa Tuhan atas hal yang bukan kendaliku. Aku sudah sangat bersyukur bahwa banyak orang yang menyayangiku dan mendukungku apapun kondisiku, itu sudah lebih dari cukup.
     Sekarang, aku sudah sampai dititik dimana aku berdoa bukan hanya untuk meminta sesuatu kepada Tuhan, tapi lebih kepada terima kasihku atas segala hal yang boleh aku terima dari-Nya. Aku bahkan sering berkata jujur kepada-Nya bahwa aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku minta, aku hanya memohon Tuhan memberikan yang terbaik menurut-Nya untukku. Aku melepaskan segala konsep keliru yang selama ini aku pegang. Seketika ketenangan dan kedamaian yang luar biasa aku rasakan dan itu jauh lebih berarti ketimbang aku "memaksa" Tuhan.


***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kenapa Berhenti?

OMG, Kulitku Iritasi! Gimana Dong?

I Miss The Real, Simple, and Deep Friendship