Ketika Belang Pergi untuk Selamanya

Belang manjat sendiri naik ke atas pot bunga hihi.
     Beberapa bulan yang lalu tanpa rencana aku berkunjung ke rumah teman mamaku. Awalnya aku merasa malas karena harus ikut bergabung dengan obrolan orang tua, tapi akhirnya aku menjadi sangat antusias ketika melihat pekarangan di belakang rumahnya. Teman mamaku memelihara marmut. Tak dapat kutahan senyum kegembiraan ketika melihat banyaknya marmut yang lucu-lucu. Ada yang di dalam kandang, ada pula yang dibiarkan berkeliaran di alam terbuka. Aku ingin memelihara seekor marmut jantan. Dan akhirnya teman mamaku mengambilkan seekor marmut jantan yang menggemaskan untukku. Aku dan mama menaruhnya di dalam rak yang sudah kuatur sedemikian rupa supaya marmut baruku itu merasa betah. Masih jelas dalam ingatanku makanan pertama yang aku berikan untuk marmutku itu adalah pisang. Kuberi dia nama Belang.
     Waktu terus berlalu sampai kami menjadi akrab. Aku sendiri tidak ingat kapan ia menjadi jinak. Aku dan mama mencurahkan kasih sayang padanya. Belang sangat suka makan batang kangkung. Gara-gara dia mama jadi lebih sering beli kangkung. Suatu hari kami memiliki ide untuk membiarkan Belang bermain bebas di halaman rumah kami. Ternyata Belang sangat senang. Ia berjalan kesana kemari, mencari makanan sendiri, dan selalu tidur di pojok favoritnya yaitu di dekat pohon pisang. Pernah suatu kali kami membawa Belang ikut pergi bersama kami menginap di rumah Bang Budi yang jaraknya sangat jauh dari rumah kami. Selama perjalanan Belang ditaruh dalam karung, bahkan ia sempat kencing sampai celana mama basah. That's an unforgettable moment! Aku senyum-senyum sendiri kala mengenang kejadian itu.
     Aku sangat sayang pada Belang. Setiap hari mama mencari rumput untuk makanannya. Kalau badannya sudah kotor aku memandikannya pakai shampoo Oriflame lho, hihihi. Dua hari sekali kubersihkan kandangnya. Dan seperti biasa sejak pagi hingga sore Belang bermain di halaman rumah kami yang sangat asri dan banyak rumput. Aku sampai hafal jadwal Belang tidur siang! Namun entah kutukan apa yang mengincar Belang. Hari itu hari Senin, aku merasa sangat ingin bersama Belang (seperti sebuah firasat). Jadi kuangkat Belang dan kutaruh di sampingku sampai aku tertidur. Sorenya aku pergi dan ketika pulang ke rumah mama memberitahukan berita yang sangat menyakitkan.
"Dek, adek jangan marah ya dengan mama." Kata mama dengan sungkan.
"Emangnya kenapa, ma?" Jujur aku sangat penasaran kala itu, karena mama tidak pernah bersikap seperti itu sebelumnya.
"Tadi sore Belang ditangkap kucing. Sekarang dia lemah, kayaknya dia udah mau mati." Mamaku menjelaskan penuh penyesalan.
"Hah, kok bisa?!" Spontan aku bergegas melihat Belang di kandangnya. Betul kata mama kalau Belang sudah lemas dan tak berdaya. Aku mencoba mengangkat tubuhnya tapi Belang menangis, merintih kesakitan. Jantungku berdegup kencang dan perasaanu kacau balau. Kuperhatikan kalau kaki kanannya patah dan telah terkulai lemah. Ada bekas luka tancap di bahunya yang sudah mamaku balur dengan kopi. Aku meraung sejadi-jadinya, seperti menangisi mayat. Hatiku hancur sekali. Mungkin bagi sebagian orang kisah ini sangat konyol dan too drama, tapi aku percaya bagi para penyayang hewan mereka pasti memahami perasaanku. Malam itu kulalui dengan gelisah, aku tidak bisa tidur sampai tengah malam, aku menangis berjam-jam sampai akhirnya aku tertidur.
     Keesokan harinya ternyata Belang masih hidup meski dengan kondisi yang cukup parah. Kaki dan tangannya menjadi kejang-kejang layaknya hewan yang baru saja terlindas mobil. Tapi syukurnya ia masih mau makan. Aku dan mama bergantian menyuapinya batang kangkung kesukaannya. Perlahan kondisinya membaik. Ia tidak terlalu lemah, ia mulai bersemangat. Perasaannku pun membaik. Aku mencari info klinik dokter hewan, dan telah berencana untuk membawanya ke klinik hewan yang ada di Dinas Peternakan hari Sabtu. Selasa sore, aku dan mama membalurkan jahe ke kaki Belang yang patah, menurut informasi yang aku tahu dari internet kaki marmut yang lumpuh bisa diobati dengan jahe. Supaya jahenya tidak tumpah kemana-mana, kami membalutnya dengan kasa. Belang akan sembuh! Itu pikirku. Semalaman kami menyuapi Belang makan. Dengan lahapnya ia menghabiskan sebakul rumput dan seikat batang kangkung.

Untungnya Belang masih mau makan.

Kaki Belang dibalur jahe biar cepat sembuh.

     Keesokan harinya aku mengerjakan tugas di samping Belang sambil menyuapinya makan. Sampai kira-kira pukul sepuluh pagi aku mandi. Saat aku berpakaian di kamar kudengar dari kejauhan mama berbicara dengan seorang bapak tak dikenal.
"Cari apa, pak?" Tanya mama.
"Itu, liat kucing kok makan kucing." Jawab bapak itu polos.
Mama sontak berteriak karena punya firasat bahwa pasti Belang yang dimakan kucing itu, bukan kucing. Aku keluar dari kamarku dan melihat kandang Belang untuk memastikan keberadaannya. Benar saja, Belang tidak ada di kandang. Aku dan mama keluar rumah dan melihat Belang sudah berlumuran darah digigit kucing. Hatiku sakit tak terperikan. Tak tahan aku melihat Belang kejang-kejang berusaha bernapas. Ia belum mati seutuhnya, tapi masih sekarat, dan itulah yang semakin membuat hatiku hancur. Mama mengangkat Belang dan menaruhnya di kandang meski tahu ia tak mungkin bisa sembuh lagi.
Tak berdaya, aku hanya bisa menyaksikan penderitaannya menuju kematian dengan menangis. Sampai akhirnya Belang sudah tiada. Kubelai tubuhnya yang masih terasa hangat, "pergilah Belang, daripada kamu harus menderita."
Sepanjang hari aku hanya menangis, menangis, dan menangis. Aku tidak nafsu makan, sampai-sampai temanku mengira aku sakit karena tampak pucat.


     Selama tiga hari berturut-turut aku masih menangisi kepergian Belang. Rumah terasa berbeda tanpa kehadirannya. Tak ada lagi yang kuajak bicara saat bangun pagi, tak ada lagi yang kuperhatikan dari jendela, tak ada lagi yang harus kusuapi makan, tak ada lagi yang harus kumandikan, tak ada lagi yang menjadi penyemangatku untuk pulang ke rumah. Kini, kandangnya sudah dibersihkan. Selimut yang biasa dia pakai juga sudah dicuci. Belang mama kuburkan di pojok favoritnya, di samping pohon pisang. Dan di atas pusaranya juga ditanam bunga sebagai tanda sayang kami yang terakhir untuknya. Menjelang akhir tulisan ini aku ingin menangis tapi harus kutahan karena aku menulisnya di tempat umum, di kafe. Sampai sekarang pun aku selalu merindukan Belang. Belang, you're always in my heart...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kenapa Berhenti?

OMG, Kulitku Iritasi! Gimana Dong?

I Miss The Real, Simple, and Deep Friendship