When I Can Not Communicate Something With My Own Words

Gambar dari google.com

       Well, saya mungkin bukan seorang filsuf handal yang pemikirannya diabadikan dalam buku-buku teori kelas, bukan juga berasal dari jurusan filsafat. Tapi saya percaya bahwa setiap orang di dunia ini juga seorang filsuf. Semua orang memiliki pengalaman dan cerita hidupnya masing-masing, dari pengalaman itu ia memetik pelajaran-pelajaran yang dapat dijadikannya sebagai pedoman hidup. Dan itulah filsafat. Setiap peristiwa yang sedang terjadi kita lihat dan kita proses di dalam pikiran kita. Salah satu hal yang sedang heboh terjadi saat ini adalah panasnya kondisi politik di negara Indonesia. Beberapa hari yang lalu, saya menonton tayangan berita tentang beberapa tokoh agama yang sedang bersiap-siap untuk unjuk rasa. Hal ini bukanlah tidak beralasan, mereka muncul ke permukaan karena merasa agamanya terhina, mereka menyebut kasus ini penistaan agama. Sebelumnya saya juga mendengar kabar yang tak kalah hebohnya, yaitu pemicu dari permasalahan yang sedang marak ini. Gubernur Jakarta berbicara, menyampaikan pendapatnya tentang kebebasan memilih Gubernur yang akan datang di hadapan PNS Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dengan cara dan kata-kata yang kurang santun (menurut saya, ya). Saat saya menonton videonya, saya paham kalau maksud Gubernur tersebut bukanlah untuk menghina agama tertentu, hanya saja kalimat yang dipakainya memang kurang pas. Hal ini menimbulkan kontroversi, banyak pihak yang merasa tersinggung dan merasa agamanya dihina. Kabar ini semakin meluas ditambah dengan adanya media massa dan elektronik.

       Walaupun akhirnya gubernur tersebut menyampaikan permohonan maafnya, namun hawa panas dari persoalan ini juga tak kunjung redam sepenuhnya. Beberapa pihak melakukan demonstrasi agar persoalan ini dibawa ke jalur hukum, saya juga sempat melihat sekelompok mahasiswa yang berdemo di bundaran untan beberapa hari yang lalu. Jujur saya sebenarnya malas menonton berita, karena lebih banyak menampilkan hal-hal yang menyeramkan, seperti pembunuhan, pemerkosaan, hingga kasus "penistaan agama" ini yang menimbulkan perpecahan dan konflik di masyarakat. Saya berpikir, kenapa seorang pemimpin harus berbicara frontal layaknya orang yang tidak berpendidikan tinggi. Tegas memang diperlukan sebagai seorang pemimpin, namu segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Saya juga menyayangkan sikap dari pihak sebrang yang bersikeras melakukan demo untuk membawa permasalahan ini ke ranah hukum. Saya heran kenapa pemimpin agama malah bersikap seolah-olah mengajak yang lainnya untuk tidak memaafkan, jika memang kita taat dengan ajaran agama dan Tuhan saya yakin tidak ada dimanapun, agama atau kitab suci yang menganjurkan kita untuk tidak memaafkan. Dan betapa mudahnya orang lain ikut-ikutan emosi hanya karena hal ini. Bukankah media yang menyebarkan kabar itupun melakukan pekerjaan tersebut juga demi keuntungan? Jadi kenapa kita begitu mudah percaya dengan isu yang muncul? Saya tak dapat merapikan semua pikiran saya itu hingga suatu kali saya melihat postingan terbaru di salah satu blog favorit saya. Ketika membaca artikel itu, saya merasa seperti inilah yang saya pikir, inilah pendapat saya, hanya saja saya tak pandai merangkainya menjadi kalimat yang bagus dan dapat dimegerti. 100% saya setuju dengan artikel ini. Andai saja kita semua bisa berpikir jernih, dan tahu membedakan segala sesuatu hal sesuai pada tempatnya, pasti ini semua tak kan menjadi sekacau ini.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kenapa Berhenti?

OMG, Kulitku Iritasi! Gimana Dong?

I Miss The Real, Simple, and Deep Friendship